Rabu, 05 Januari 2011

“Hakim Sebagai Malaikat atau Iblis”

3 komentar

Hakim, hmm.. Mungkin dibenak kita semua profesi hakim merupakan profesi yang sacral dan perlu orang yang berjiwa kebenaran untuk dapat mengelutinya, bukan hanya sebagai pengadil di meja hijau yang rentan akan praktek penyalahgunaan kewenangan atau yang ngeteren sekarang ini dengan mafia kasus. Akan tetapi merupakan profesi yang mulia bila sanggup menahan godaan “syetan” yang kerap menghampiri, baik berbentuk secara fisik maupun berbentuk fana yang mengiang-ngiang di benak kita.
Dari mulai kasus lokal hingga kasus nasional tak terlepas dari masalah-masalah hukum dan banyak diantaranya terjadi permainan diantara mereka dan mengasilkan sebuah keadilan yang fana.
Bukan bermaksud untuk mendeskritkan dan mengeneralisasikan profesi hakim sebagai profesi yang buruk dan tak mengenal istilah kebenaran. Akan tetapi itulah yang terjadi saat ini atas realita yang ada. Mencoba menganilis profesi lainnya yang berkaitan dengan dunia hukum hampir semua tak memiliki kredibilitas sebagai mana mestinya. Contohnya jaksa yang suka bermain mata dengan tersangka, yang mengakibatkan hukum dapat diberjualbelikan dengan mencari tuntutan yang karet dan ringan. Belum lagi pihak polisi yang semakin memperuyam masalah dengan tuduhan ini itu terhadap si pelaku dan terjadilah pemerasan. Dilain pihak pengacara membela kliennya tak berpikir panjang asalkan sang klien sanggup membayar sesuai harga yang pantas baik kebenaran ataupun kesalahan sudah dianggap barang yang halal.
Dan terakhir ujung tombak dalam mencari kebenaran tak lain adalah hakim yang terkesan malu-malu tapi mau akan sodoran dari pelaku untuk meminta keringanan vonis. Menurut pasal 1 undang undang no. 8 tahun 1981 tentang kitab undang undang hukum acara pidana (kuhap), hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dengan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.
Inilah problema negeri ini, negeri indonesia yang dulu disebut dengan macan asia sekarang seperti macan yang pesakitan dalam tidurnya. Bayangkan bagaimana 20 tahun mendatang apa yang kita wariskan untuk kita, eh tidak terlalu jauh kita berpikir 20 tahun mungkin kurang lebih sepuluh tahun bila dunia hukum indonesia tidak segera dibenahi mungkin kita menyiapkan dana dalam anggaran rumah tangga untuk di anggarkan “amplop pelicin”. Memang apa adanya saya berkata ini dengan aliran tangan ini tak kunjung berhenti mengomenntari hancurnya negeri ini dan sudut pandang saya yang dilahirkan dikalangan orang biasa yang sering tersakiti akan kebrokokan hukum negeri ini. Sebegitukah bobroknya dunia hukum negeri ini mungkin yang bisa menjawab itu adalah anda sendiri...

Jika aku menjadi hakim???
Tak terbersit dibenakku kalau kelak saya menimba ilmu menjadi mahasiswa hukum, lebih lagi berkecimpung dalam dunia pofesi hukum. Mungkin selama ini yang membuat bertahan selama ini adalah keinginan membahagiakan orang tua yang. Seandainya dapat memilih bidang ekonomi maupun sejarah merupakan cita-cita hidup saya, menhabiskan sisa umur dan hidup sederhana di desa berkerbun maupun memelihara ternak di saat tua nanti sembari menikmati indahnya dunia perdesaan yang jauh akan hiruk pikuk kejamnya dunia menjadi impian hidup kelak nanti. Pada saat itu terdapat pilihan sulit dimana saya sempat diterima dalam penjaringan mahasiswa baru di unlam dan universitas terkemuka di yogyakarta. Akan tetapi dari hal itu orang tua saya memberikan wejangan kalau sekarang ini “jikalau ingin berhasil pintarlah mencari peluang” dan menyarankan agar memasuki dunia hukum untuk melanjutkan studi kuliah, bagi ku perkataan orang tua merupakan restu ataupun ridha yang di berikan yang maha kuasa, dan mengurungkan niat untuk mengejar impian yang ada.
Kata-kata orang tua yang selalu mengiang di kepala saya yaitu “pintar itu relatif” semakin menegaskan ilmu itu tidak hanya didapat dalam kuliah,sekolah ataupun lainnya akan tetapi dari sikap kau seharinya yang berjuang hidup tanpa lelah mengejar impian tersebut. Dengan berpikir bahwa ekonomi tidak semata-mata dipelajari dari teori akan tetapi dari pengalaman jatuh bangun dalam berusaha merupakan suatu kebrhasilan, dan suatu keberhasilan merupakan cobaan dari yang kuasa. Setidaknya hal tersebut yang saya yakinni hingga saat ini, banyak orang pintar yang berguru dimana-mana mempunyai title yang panjang ceramah sana sini, akan tetapi apakah dia bisa merealisasikan apa yang dia katakan. Sekali lagi pengalaman merupakan guru terbaik yang dimiliki manusia, manusia tidak akan berhasil tanpa kegagalan.
Tidak seperti orang pada umumnya yang bercita cita menjadi polisi, jaksa, pengacara ataupun hakim, saya cenderung menghindarinya. Karena bidang tersebut hal yang sulit dalam agama yang saya pahami sedikit melangkah salah terjerumuslah kau ke neraka. Profesi dalam dunia hokum ibarat pisau bermata 2, dimana bila bimbang dalam bertindak maka celakalah engkau dan disaat kau salah dalam bertindak maka hancur lah engkau, atau dengan kata lain nasibmu ada dalam tanganmu.
Akan tetapi bila saya berkecimpung dalam dunia hokum, profesi hakim lah yang dapat menarik saya, meskipun bias saja menjadi pengacara yang berhati mulia dengan membela kaum cilik. Tetapi hal tersebut tak akan membantu dalam mengatasi kebrokokan dunia hokum negeri ini. Dengan menjadi seorang hakim kita dapat mengadili seseorang itu baik dan benar. Saat ini hokum di negeri ini sudah carut marut dan mengalami fase yang kritis. Dengan saya menjadi hakim koruptor-koruptor yang menjadi tersagka di hadapanku saya berikan vonis hukuman mati. Tak ada kata ampun dalam mengadili meskipun kita harus memperhatikan aspek social yang terjadi. Dengan berasumsi ayah korupsi anak korupsi, ayah markus anak markus, ayah kriminal anak kriminal. Saatnya memutus mata rantai itu dengan dalih membuat efek jera.
Selama ini korupsi seperti budaya yang ada baik di dunia pemerintahan maupun swasta. Semua berlomba-lomba mencari penghasilan sebanyak-banyaknya dengan korupsi. Seandainya ada yang namanya “death note” atau yang namanya dengan catatan kematian. Dimana kita dapat menuliskan nama seseorang yang dirasa melakukan kejahatan ataupun tindak pidana dan 40 detik kemudian orang tersebut meninggal seprti dalam komik fiksi “death note” mungkin dunia akan damai tanpa adanya kejahatan, tak ada markus, poltik busuk, para koruptor dan pelaku kejahatan lainnya yang meresahkan orang lain. Sadar akan hal tersebut juga merupakan kejahatan yaitu dengan memiliki kekuatan dapat membunuh seseorang dengan seenaknya, meskipun untuk kedamaian dunia ini. Hal tersebut merupakan hal yang harus diterima sebagai konsekuensi terhadap perbuatan yang saya lakukan. Asal dunia terbebas dari kejahatan yang mengila saya rela mengorbankan diri untuk hal tersebut. Kita semua ingin anak-anak kita dapat bergerimbira tanpa rasa takut akan kejahatan yang terjadi dan negeri ini makmur dan sejahtera bagi rakyatnya.
Pemuda-pemudi selama ini melupakan apa yang dicitakan bangsa ini dengan hanya berpesta pora dan tak memperhatikan problema social negeri ini, jangan sampai negeri ini tergadaikan oleh bangsa lain yang di injak harga dirinya oleh bangsa lain. jangan hanya bisa menikmati apa yang disediakan negeri ini akan tetapi kita harus dapat merawat dan mewariskan ke anak cucu kita nanti.
Anda yang sekarang berkarya, anda yang sekarang berbuat, anda yang sekarang merubah...

3 komentar:

bayyu says:
5 Januari 2011 pukul 20.07

mantapppppp....

Nasional Update says:
8 Januari 2011 pukul 10.52

hakim berada diantara syurga dan neraka. yang mana yang memberatkannya kesanalah dia masuk.
hahaha

HE. Benyamine says:
10 Januari 2011 pukul 16.14

postingan ini saya usulkan ke Halte Blogger BPost, mudahan berkenan atas usulan ini.

Posting Komentar